Kerja, usaha, hasil adalah 3 kata yang sangat erat kaitannya. Setiap manusia butuh akan 3 kata ini. Kita analogikan 3 kata ini dengan makanan, semua manusia butuh makan agar bisa bertahan hidup. Sebuah analogi sederhana namun, kaya akan makna. “KUAH” K (kerja), U (usaha), dan AH (dibalik menjadi HA yaitu hasil. Sebelum menjadi KUAH ada proses yang harus dilakukan supaya bisa menjadi KUAH.
Pertama kita siapkan bumbu, bumbu harus kita pilih yang paling bagus, tidak busuk agara rasanya pas dan tidak aneh nantinya. Kedua harus sesuai takaran, jika tidak sesuai dengan takaran maka rasanya tidak akan seimbang. Ketiga kita tambahkan air, karena kita akan membuat KUAH tentu harus memakai air. Bila semuanya terpenuhi akan menjadi KUAH yang sedap dan nikmat, dan semua orang suka bahkan ada yang nambah.
Sekarang kita kaitkan dengan kerja, usaha, dan hasil agar kita dapat hidup melaksanakan amanah dan juga ibadah. Sebelum kita dapat memenuhi kebutuhan hidup tentu ada beberapa hal yang harus kita lakukan untuk memperolehnya.
Pertama, kerja. Kita harus memilih pekerjaan yang halal, pendapatan yang halal, ada keberkahan didalamnya, dan tidak ada unsur haram. Kenapa tidak boleh ada unsur haram ? karena itu akan mempengaruhi berbagai aspek kehidupan kita yakni agama, jiwa dan nasab kita dan juga agar hati kita tentram menjalankannya dan terdapat keberkahan didalamnya.
Kedua, usaha. Usaha yang kita lakukan harus seimbang atau sesuai takaran antara kekuatan fisik, mental dan ruhani kita. Seimbangnya usaha ialah seimbangnya kerja sesuai dengan potensi yang dimiliki, dikerjakan tepat waktu, ulet cekatan dalam bertindak, dan di imbangi dengan berdo’a kepada Allah swt, agar Allah mudahkan segala urusan kita. Jika semuanya terpenuhi maka akan seimbang pekerjaan tersebut.
Ketiga hasil. Hasil adalah perolehan yang kita capai sesuai dengan usaha kerja kita. Ada 2 hasil yang kita peroleh yaitu, dari manusia berupa gaji, dan dari Allah swt pahala, apalagi jika kita bekerja diniatkan karena Allah swt, diniatkan untuk mencari nafkah, untuk berwakaf, sedekah, zakat dan lain sebagainya, maka pahala kita akan mengalir seperti aliran KUAH yang mengairi makanan atau seperti air yang mengalir, pahala akan terus bertambah.
Bila semuanya terpenuhi maka akan terasa keberkahan didalamnya. Kerja diniatkan karena Allah swt, usaha kerja keras kita dan hasil yang kita peroleh akan terasa keberkahannya apabila kita alokasikan ke hal yang bermanfaat serta dapat menjadi ladang pahala nantinya.
Bekerja itu adalah sunnatullah bagi manusia. Manusia tidak akan memperoleh nikmat, rezeki, dan makanan yang ada di atas dan bawah tanah kecuali dengan kerja keras dan usaha yang sungguh-sungguh. Seperti kata kiasan ini, “Siapa yang jalan akan makan dan siapa yang bisa jalan tapi tidak mau jalan maka sepantasnya dia tidak makan.
Perlu kita ketahui, bahwa islam maju dalam beberapa kurun waktu di bidang perekonomian dan berhasil mewujudkan kesejahteraan social. Islam telah jauh mendahului ilmuwan barat, bahkan sistem yang dipakai islam pun. Islam memiliki 2 pedoman hidup, dimana 2 pedoman ini adalah kunci kesuksesan berbagai aspek kehidupan umat islam, termasuk dalam bekerja. Di dalam 2 pedoman ini juga terdapat sistem-sistem yang membuat islam maju dalam perekonomian dan berhasil mewujudkan kesejahteraan social.
Islam memberikan seruan kepada umat muslim untuk bekerja dengan baik. Kaidah ini muncul dari kaidah yang pertama dan tegak diatasnya. Artinya, jika harta dipandangan islam merupakan sarana hidup yang baik dan sarana untuk berbuat kebaikan, maka kita harus berusaha untuk memperoleh harta itu sesuai dengan sunnatullah dalam mengaitkan antara sebab-musababnya.
Islam mengajak kita untuk berusaha dan bekerja. Dan islam memperingatkan kita dari sikap putus asa dan rasa malas. Allah swt berfirman : “Dialah yang menjadikan bumi ini budak bagi kamu, berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezekinNya. Dan hanya kepada-Nya lah kamu (kembali) setelah dibangkitkan…(Al-Mulk : 15). Dari firman Allah ini sudah jelas, bahwa Allah telah menjadikan hamparan langit dan bumi agar manusia dapat berusaha diatasnya untuk mendapatkan rezeki. Allah swt sudah menetapkan rezeki bagi tiap-tiap hambanya, tinggal kita sebagai seorang hamba berusaha untuk memperoleh rezeki tersebut.
Lalu buat apa kita berputus asa ? Allah sudah atur rezeki setiap hambanya. Untuk apa kita malas ? Allah sudah jadikan bumi ini sedemikian rupa agar hambanya mudah dalam memperoleh rezeki tersebut dengan usaha, dimanapun dan kapanpun. Bumi Allah itu luas, kaya akan sumber daya alam, tinggal kita sebagai sumber daya manusia menjaga dan mengolahnya dengan baik, apapun profesi yang kita lakoni.
Islam tidak hanya menyeru manusia untuk beribadah, bahkan islam pun menyeru kita untuk berusaha/bekerja. Di dalam al Qur’an Allah swt menyandingkan shalat dengan bekerja. Demikian besarnya perhatian islam terhadap kerja sehingga ia memerintahkan untuk bekerja setelah menunaikan kewajiban shalat agar orang pun tahu bahwa bekerja adalah wajib seperti kewajiban ibadah, Allah berfirman : “Apabila shalat telah dikerjakan, maka bertebaranlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya supaya kamu beruntung”. (Al-Jumu’ah : 10)
Bekerja tidak hanya semata-mata untuk aktivitas duniawi saja, tetapi bahwa setiap aktivitas itu bernilai ibadah kepada Allah, selama dilakukan dengan niat karena Allah dan mematuhi hukum-hukum Nya. Rasulullah Saw bersabda : “Apabila seseorang itu keluar berusaha untuk anaknya yang masih kecil maka itu fi sabilillah, dan apabila keluar berusaha untuk kedua orang tuanya yang renta maka itu fi sabilillah, dan apabila keluar berusaha untuk dirinya agar dirinya terjaga kehormatannya maka itu fi sabilillah”. (HR.Thabrani) dari hadits ini jelaslah, bahwa amal atau segala sesuatu yang kita kerjakan sesuai dengan apa yang kita niatkan.
Islam memperhatikan semua jenis pekerjaan.
Pertama, terhadap petani. Dalam mendorong seseorang untuk bercocok tanam, Nabi Saw. bersabda : “Tidaklah seorang muslim yang menanam suatu tanaman kemudian (hasilnya) dimakan oleh burung, manusia atau hewan, melainkan bernilai sedekah baginya. (HR. Muttafaqun ‘Alaih)
Kedua, terhadap pedagang, para sahabat Nabi dulu ada yang berdagang di darat maupun laut, bahkan mengarungi padang pasir. Dalam hal perdagangan Nabi Saw, bersabda : “Pedagang yang jujur dan terpercaya itu (akan dikumpulkan) bersama para Nabi, shiddiqin, dan para syuhada’. (HR.Tirmidzi)
Pada zaman sekarang ini adanya istilah “bisnis” sebuah kata keren yang menggantikan bahasa “perdagangan”. Rasulullah juga berbisnis dengan ibunda Khadijah. Rasulullah yang menjalankan bisnis dan ibunda Khadijah yang menjadi managernya. Kita perlu meneladani cara berbisnis Rasulullah dan ibunda Khadijah. Rasulullah pun belajar bisnis dari paman beliau yaitu Abu Thalib.
Ketiga terhadap pengembala. Zaman terus berkembang, yang menjadi pengembala di zaman ini sangat sedikit, dikarenakan adanya teknologi. Teknologi yang semakin canggih, lebih mengutamakan mesin disbanding mengembala sendiri. Bahkan ada yang ogah-ogahan untuk menjadi pengembala. Perlu kita ketahui, pekerjaan pengembala ini banyak dilakoni oleh para nabi dan sahabat nabi. Dalam mengembala ternak, Rasulullah Saw. bersabda : “Allah tidak mengutus seorang nabi pun kecuali pernah menggembala kambing. Para sahabat bertanya, “Demikian pula engkau ?” Nabi menjawab, “Ya. Aku dulu juga pernah menggembala kambing milik penduduk Makkah dengan memperoleh gaji beberapa qirath. (HR. Bukhari)
Keempat terhadap wiraswasta. Dalam bidang wiraswasta Rasulullah Saw, mencotohkan Nabi Daud a.s yang Allah telah member kemampuan kepadanya bisa melunakkan besi untuk dibuat baju perang, Nabi Saw bersabda : “Sesungguhnya Nabi Allah Daud itu tidak makan kecuali dari (hasil) kerja tangannya”. (HR. Bukhari)
Rasulullah juga memerangi tradisi bangsa Arab yang suka menghina wiraswasta dan kerajinan tangan, sementara mereka sebagian mengandalkan meminta-minta kepada kepala suku. Nabi Saw, menjelaskan kepada mereka bahwa sesungguhnya setiap usaha kerja yang bermanfaat adalah mulia, walaupun laba yang diperoleh sangat kecil dan manusia memandang remeh. Dan pada saat yang sama islam mencela keengganan dan kemalasan kepada orang yang mampu bekerja agar ia tidak menjadi beban bagi orang lain, Rasulullah Saw bersabda : “Jika ada seseorang diantara kamu yang mengambil tali, kemudian datang dengan membawa sebongkok kayu bakar diatas punggungnya, lalu ia menjualnya, sehingga dengan itu Allah swt menutupi wajahnya. Itu lebih baik baginya dari pada meminta kepada manusia yang kadang mereka memberinya, kadang tidak memberinya (HR. Bukhari)
Diantara fardhu kifayah bagi kaum muslimin adalah mempersiapkan jumlah orang yang terlatih dan mencukupi untuk setiap profesi yang diperlukan oleh masyarakat, sehingga kaum muslimin bisa mandiri mencukupi kebutuhannya. Mereka makan dari hasil mereka menanam, berpakaian dari produksi sendiri, dan mempersenjatai tentara mereka dengan hasil buatan mereka sendiri. Hal ini berpegang pada firman Allah swt, “Dan kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia”. (Al-Hadid : 25) kata “ba’sun syadid” (kekuatan yang hebat) itu menunjukkan pentingnya produk-produk militer, dan kata “wamana fi’u lin-nas” (dan berbagai manfaat bagi manusia) mengisyaratkan pentingnya produk-produk sipil. Ketika semua itu belum terpenuhi maka kaum muslimin berdosa, terutama kalangan ulil amri. (Qardhawi, 2013)
Islam juga membagi usaha atas tiga macam.
Pertama, wajib. Bagi yang memenuhi kebutuhan sendiri dan orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya, atau melunasi hutang dan memenuhi hak-hak umum lainnya. Contohnya : seorang suami bertanggung jawab untuk menafkahi anak dan istrinya dan anak-anaknya, seorang yang berhutang wajib membayar hutangnya.
Kedua, sunah. Bagi yang mencari lebih dari kebutuhan, misalnya untuk membantu orang-orang fakir, amal social, dan kebijakan lainnya. Contoh : lembaga zakat, baitul maal dsb.
Ketiga, boleh. Bagi yang ingin memperoleh tambahan, harta, pangkat, kenikmatan, dan kesejahteraan dengan tetap memelihara keselamatan agama, kehormatan, harga diri, dan kemerdekaan.
Ibnu Hazm mengatakan bahwa para ulama sepakat tentang hal dalam berusaha/bekerja, karena kedudukan usaha dalam islam demikian , maka ia menganggap kemandirian seseorang sebagai sebaik-baik usaha dan sebaik-baik pekerjaan, Rasulullah bersabda, “Tidak ada seorang pun yang lebih baik daripada orang yang makan dari hasil tangannya sendiri. Sesungguhnya Nabiyullah Daud a.s makan dari hasil jerih payahnya sendiri (HR. Bukhari).
Seperti yang kita lihat di berbagai tempat yaitu, pasar, stasiun, di depan mall-mall besar, dijalan raya ada banyak pengamen dan orang yang meminta-minta. Islam menganggap orang yang meminta-minta namun sebenarnya mereka sanggup untuk bekerja adalah orang yang hina, hilang kehormatannya, tidak berkepribadian, tidak bernilai, dan tidak berharga di tengah masyarakat. Rasulullah Saw. bersabda, “Tangan yang diatas lebih baik daripada tangan yang dibawah, yang di atas adalah yang member, sedangkan yang dibawah adalah yang meminta-minta (muttafaqun ‘Alaihi).
Rasulullah Saw. apabila mendapati orang yang meminta sedekah padahal ia mampu berusaha dan bekerja, maka beliau menyediakan sarana-saran yang dapat dipergunakan untuk bekerja bagi peminta tersebut dan memperingatkannya agar tidak meminta-minta demi menjaga harga diri dan kehormatannya. Dalam sebuah hadits Rasulullah Saw. bersabda, “Seseorang tetap saja meminta-minta kepada orang lain hingga ia dating pada hari kiamat dalam keadaan tiada daging diwajahnya (HR. Muslim).
Umar r.a berkata, “Janganlah salah seorang di antara kamu enggan mencari rezeki sementara ia berdoa, ‘Ya Allah, berilah kami rezeki,’ padahal ia tahu bahwa langit tidak akan menurunkan hujan emas maupun perak.”
Islam tidak menganggap keengganan bekerja dan berusaha dengan mengharap rezeki dari arah yang tidak di duga-duga termasuk tawakal, sebagaimana dipahami sebagian orang secara salah. Sebaliknya, ia menganggap sebagai tawakal (bergantung). Imam Ahmad telah meluruskan pemahaman yang salah ini ketika beliau ditanya, “Apa komentar anda tentang seseorang yang hanya duduk di rumah dan masjidnya, kemudian mengatakan aku tidak akan bekerja hingga rezekiku dating ?” Imam Ahmad menjawab, “Itu orang yang tidak tahu ilmu. Tidakkah ia mendengar Nabi Saw. bersabda, “Allah menjadikan rezekiku di bawah naungan tombakku”. (Al-Wasyli, 2011)
Hendaknya kita mencontoh seekor burung dalam bekerja atau mencari rezeki, Rasulullah Saw, bersabda : “Berangkat dengan perut kosong, kembali dalam keadaan kenyang.”
Bergantung dan berusaha bukanlah mentalitas seorang muslim dan tidak dikehendaki islam. Karena akan menyebabkan hilangnya kehormatan seseorang dan menentang terhadap kaidah-kaidah umum islam tentang makna ibadah. Islam menginginkan agar umat islam menjadi yang khas dalam menghargai eksistensi dan harga dirinya, serta kedudukannya di tengah bangsa lain.
Diantara kewajiban para pemimpin (ulil amri) adalah menyediakan untuk setiap orang yang mampu bekerja, lapangan pekerjaan yang sesuai dengan keahliannya untuk mencukupi kebutuhan diri dan keluarga. Juga memberi kesempatan bagi mereka yang tidak mempunyai keahlian untuk mendapatkan pendidikan dan training sehingga dapat bekerja dengan baik.
Sebagai seorang muslim kita dituntut untuk bersikap “tawazun” antara bekerja untuk mencari ma’isyah dengan beramal untuk bekal kembali kepada Allah, antara urusan dunia dan urusan agamanya, antara tuntutan jasmani dan ruhaninya. Urusan dunia tidak melalaikan akhirat, dan materi tidak melalaikan ruhani.
Orang yang bekerja dituntut untuk dapat menunaikan pekerjaannya dengan amanah dan cermat (itqan). Ihsan dalam bekerja itu termasuk kewajiban syar’I sebagaimana ihsan dalam beribadah.
Masyarakat islam juga diwajibkan untuk memberi upah yang sesuai kepada para pekerja, tidak mengurangi haknya dan tidak menunda upahnya.
Imam Syahid Hasan Al-Banna menjelaskan bahwa islam adalah usaha dan kerja. Ungkapan ini mencakup perintah dan arahan bagi setiap muslim untuk bekerja. Selain itu juga merupakan celaan terhadap yang enggan dan malas untuk bekerja.
Islam tidak rela bila umat muslim lemah, hina, bergantung, dan selalu mengharapkan sesuatu yang ada di tangan orang lain.
Usaha akan menghasilkan kecukupan dan kekayaan, maka Imam Syahid Hasan Al-Banna menyatakan bahwa islam adalah kecukupan dan kekayaan.
Referensi
Al-Wasyli, A. b. (2011). Syarah Ushul ‘Isyrin. Solo: ERA ADICIITRA INTERMEDIA.
Qardhawi, D. Y. (2013). Malamih Al-Mujtama’ Al-Muslim . Surakarta : PT ERA ADICITRA INTERMEDIA.