Bermula dari zaman Nabi Muhammad SAW, terdapat kelompok masyarakat di kota Makkah yang dikenal sebagai suku Quraish. Suku Quraish merupakan suku terkemuka di Makkah dan memiliki pengaruh besar dalam pemerintahan dan perekonomian kota tersebut.
Meskipun Nabi Muhammad SAW membawa ajaran Islam yang mendasarkan segala aspek kehidupan pada syariat Allah, suku Quraish secara umum menolak ajaran-ajaran baru tersebut. Mereka tetap mempertahankan praktik-praktik agama tradisional mereka yang berakar dalam kepercayaan-kepercayaan pagan.
Penolakan suku Quraish terhadap syariat Islam dapat dijelaskan dengan beberapa faktor. Pertama, mereka merasa bahwa perubahan menuju Islam akan mengancam posisi dan kekuasaan mereka. Sebagai suku terkemuka, mereka memegang kendali atas berbagai aspek kehidupan di Makkah, termasuk peribadatan dan perdagangan. Masuknya Islam dapat mengubah lanskap politik dan sosial di kota tersebut, dan suku Quraish tidak ingin kekuasaan mereka tergoyahkan.
Kedua, suku Quraish melekat erat pada kebiasaan dan tradisi nenek moyang mereka. Mereka enggan meninggalkan praktik-praktik agama pagan yang sudah mereka lakukan selama bertahun-tahun. Hal ini disebabkan oleh rasa bangga akan identitas mereka dan perasaan bahwa ajaran Islam merupakan sebuah ancaman terhadap tradisi dan kebiasaan yang mereka junjung tinggi.
Ketiga, suku Quraish juga terpengaruh oleh faktor politik dan ekonomi. Mereka khawatir bahwa masuknya Islam akan mengubah tatanan sosial dan ekonomi yang telah mereka ciptakan. Makkah pada saat itu menjadi pusat perdagangan dan ziarah yang menghasilkan banyak keuntungan bagi suku Quraish. Mereka takut bahwa ajaran Islam yang menentang praktik riba dan penindasan akan mengganggu sistem ekonomi yang mereka nikmati.
Dalam menghadapi penolakan tersebut, Nabi Muhammad SAW dan para pengikutnya menjalani masa-masa sulit dan dihadapkan pada berbagai tantangan. Mereka menghadapi persekusi, boikot, dan bahkan penganiayaan fisik yang dilakukan oleh suku Quraish. Namun, mereka tetap bertahan dengan keyakinan yang kuat dan terus menyebarkan ajaran Islam kepada siapapun yang mau mendengar.
Dalam akhirnya, perlawanan suku Quraish terhadap syariat Islam tidak dapat menghentikan penyebaran agama tersebut. Melalui kesabaran, ketekunan, dan kebijaksanaan Nabi Muhammad SAW, Islam akhirnya menjadi agama yang dianut oleh mayoritas penduduk di Makkah dan mengubah wajah masyarakat Arab pada waktu itu.
Kisah penolakan suku Quraish terhadap syariat Islam adalah sebuah pengingat bahwa adopsi perubahan dan penerimaan ajaran baru tidaklah selalu mudah. Hal ini juga menggambarkan betapa kuatnya kepenting politik, sosial, dan ekonomi dalam membentuk sikap dan penolakan terhadap perubahan.
Penolakan suku Quraish terhadap syariat Islam juga mencerminkan ketakutan akan kehilangan kekuasaan dan keuntungan yang mereka peroleh dari praktik-praktik yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
Namun, meskipun suku Quraish menolak syariat Islam pada awalnya, seiring berjalannya waktu, beberapa di antara mereka mulai terbuka dan menerima ajaran Islam. Ada yang tertarik dengan kejujuran, keadilan, dan kesetaraan yang diajarkan dalam Islam, sementara yang lain merasakan kekuatan spiritual yang membawa kedamaian dan kedamaian dalam hidup mereka. Beberapa tokoh terkemuka dari suku Quraish, seperti Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan Uthman bin Affan, akhirnya memeluk Islam dan berperan penting dalam penyebaran agama ini.
Kisah penolakan suku Quraish juga memberikan kita pelajaran tentang pentingnya dialog, kesabaran, dan pemahaman dalam menghadapi perbedaan keyakinan. Meskipun mereka awalnya menolak Islam, Nabi Muhammad SAW dan para pengikutnya tidak menggunakan kekerasan atau paksaan untuk memaksakan keyakinan mereka. Sebaliknya, mereka menjalin hubungan yang baik dengan masyarakat sekitar, memberikan contoh kebaikan dan menunjukkan keindahan ajaran Islam melalui perilaku mereka.
Kisah penolakan suku Quraish terhadap syariat Islam mengingatkan kita bahwa setiap perubahan dan penyebaran ajaran baru akan menghadapi tantangan dan rintangan. Namun, dengan ketekunan, kesabaran, dan pendekatan yang baik, perubahan tersebut dapat terjadi dan diterima oleh masyarakat. Kisah ini juga mengajarkan kita untuk menjaga sikap terbuka, saling menghormati, dan berdialog dengan orang-orang yang memiliki keyakinan berbeda, dengan harapan bahwa kesepahaman dan toleransi dapat tercapai.
Dalam akhirnya, kisah penolakan suku Quraish terhadap syariat Islam menjadi bagian penting dalam sejarah perkembangan agama Islam. Meskipun mereka awalnya menolak, agama ini akhirnya diterima oleh banyak orang dan mempengaruhi sejarah dan peradaban selama berabad-abad.
Terkait dengan kisah penolakan suku Quraish terhadap syariat Islam, ada paralel yang dapat diambil dalam konteks menghidupkan kembali bank konvensional di Aceh melalui revisi Qanun LKS.
Keberadaan sistem keuangan yang berlandaskan syariat Islam di Aceh telah menjadi perwujudan cita-cita masyarakat yang sudah diperjuangkan dengan peluh dan air mata. Bank Syariah di Aceh telah memberikan kemudahan bagi masyarakat dalam bertransaksi yang halal dan bebas dari riba.
Menghidupkan kembali bank konvensional di Aceh melalui revisi Qanun LKS dapat dianggap sebagai pengkhianatan terhadap cita-cita masyarakat Aceh dan pengabaian terhadap sistem keuangan syariah yang telah ditegakkan dengan susah payah. Hal ini dapat menimbulkan kekhawatiran bahwa kembali mengadopsi praktik-praktik yang bertentangan dengan prinsip syariat Islam akan mempengaruhi integritas dan keberlanjutan sistem keuangan syariah di Aceh.
Dalam konteks ini, seperti dalam kisah penolakan suku Quraish, penting untuk memahami dan menghormati aspirasi serta keyakinan masyarakat Aceh yang telah berjuang untuk memiliki sistem keuangan syariah yang sesuai dengan nilai-nilai agama mereka. Menjalankan dialog yang konstruktif dengan masyarakat, pemangku kepentingan, dan tokoh agama dapat menjadi jalan yang lebih baik untuk mencari solusi dalam menghadapi gangguan layanan bank syariah.
Tanggapan Untuk Mengembalikan Bank Riba ke Bumi Aceh
Terhadap keinginan Ketua DPRA, Saiful Bahri (Pon Yahya), yang ingin mengembalikan bank konvensional ke Aceh dianggap sebagai pengkhianatan terhadap masyarakat Aceh. Keistimewaan Aceh dengan sistem keuangan yang berlandaskan Syariah merupakan hasil nyata dari cita-cita masyarakat yang telah diperjuangkan dengan pengorbanan darah, keringat, dan air mata. Oleh karena itu, jika Qanun ini direvisi dan bank konvensional kembali ke Aceh, itu akan menjadi sebuah pengkhianatan yang besar terhadap cita-cita masyarakat oleh individu yang mengatasnamakan Dewan Perwakilan Rakyat.
Niat untuk merevisi Qanun LKS karena gangguan layanan Bank Syariah Indonesia (BSI) adalah tidak relevan. Gangguan operasional yang terjadi pada BSI adalah masalah teknis yang tidak terkait dengan Qanun LKS yang merupakan kebijakan umum lembaga keuangan syariah di Aceh. Jika ada kekurangan dalam implementasi Qanun LKS, kebijakan revisi harus bertujuan untuk memperkuat sistem keuangan syariah yang sudah ada di Aceh. Namun, dalam proses revisi tersebut, perlu memastikan bahwa Qanun LKS tidak dilemahkan namun harus dipastikann agar Qanun LKS tersebut harus diperkuat , karena telah lama terdengar bahwa tidak sedikit pihak-pihak yang tidak rela dengan penerapan Qanun LKS di bumi Aceh yang tercinta ini.
Lebih daripada menghidupkan kembali bank konvensional, upaya perlu difokuskan pada memperkuat dan meningkatkan sistem keuangan syariah yang sudah ada di Aceh. Bukan hanya sebagai bentuk keberlanjutan, tetapi juga sebagai bagian dari upaya menjaga keistimewaan Aceh dalam hal sistem keuangan yang berlandaskan syariat Islam.
Melalui pendekatan ini, pengembangan infrastruktur, peningkatan kualitas layanan, dan penyelesaian masalah teknis yang mungkin terjadi dalam operasional bank syariah dapat menjadi fokus utama. Dengan cara ini, kepercayaan masyarakat terhadap sistem keuangan syariah dapat tetap terjaga, dan keberadaan bank konvensional tidak perlu dipertimbangkan sebagai alternatif.
Dalam menyikapi permasalahan ini, penting untuk mengambil pelajaran dari sejarah dan berupaya mencari solusi yang menghormati aspirasi masyarakat, mempertahankan integritas sistem keuangan syariah, dan menjaga keberlanjutan serta perkembangan yang lebih baik.
Fokus Menjadikan Aceh Sejahtera
Dengan fokus pada tujuan untuk mengeluarkan Provinsi Aceh dari salah satu provinsi termiskin di Indonesia, serta dengan doa dan penerapan Qanun LKS, kita berharap agar Allah Swt melimpahkan kepada Aceh berkah dari langit dan bumi, dan menjadikan Aceh sebagai salah satu provinsi yang makmur di Indonesia.
Hal ini sejalan dengan ayat Al-A’raf Ayat 96 yang menyatakan bahwa jika penduduk negeri beriman dan bertakwa, Allah akan melimpahkan berkah kepada mereka. Dalam konteks ini, mengembalikan bank konvensional ke Aceh tidak dianggap sebagai cerminan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah. Oleh karena itu, fokus yang lebih tepat adalah mengarahkan upaya dan perhatian untuk memajukan Aceh secara ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dengan menjalankan sistem keuangan yang berlandaskan pada prinsip-prinsip syariah yang tercantum dalam Qanun LKS.
Dengan demikian, dalam upaya memperbaiki kondisi Aceh dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, penting untuk memperkuat penerapan Qanun LKS dan berdoa agar Allah melimpahkan berkah-Nya. Tujuan utama adalah menjadikan Aceh sebagai provinsi yang makmur, bukan dengan mengembalikan bank konvensional yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Syariah yang akan mengundang Kembali murka Allah di bumi Aceh yang tercinta ini.
“Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan” (Al-A’raf Ayat 96).
Penulis :
Dr. H. Early Ridho Kismawadi, S.E.I, MA (Sekretaris Umum Masyarakat Ekonomi Syariah Kota Langsa/Dosen IAIN Langsa)