Wartanusa.id – Aceh Utara | Humanitarian Coordinator Yayasan Geutanyoe, Nasruddin mengatakan hingga saat ini sudah 230 etnis Rohingya terdampar di Aceh Utara dan butuh tempat pengungsian.
Sebelumnya, pada Selasa, 15 November 2022, di bibir pantai Meunasah Baro, Kecamatan Samtalira, Kabupaten Aceh Utara pengungsi etnis Rohingya terdampar sebanyak 111 orang sekitar pukul 03.25 Wib dini hari, kemudian pada Rabu, 16 November 2022, kembali pengungsi Rohingya gelombang berikutnya sebanyak 119 orang, mendarat di kawasan Krueng Geukuh, Kecamatan Dewantara, di kabupaten yang sama.
Sementara pengungsi gelombang pertama ditampung sementara di Meunasah Desa Meunasah Lhok telah di relokasi oleh warga setempat ke Aula Kantor Kecamatan Muara Batu.
Untuk pengungsi gelombang susulan hari ini belum mendapatkan kejelasan dari Pemerintah mengenai nasib dimana lokasi penampungan untuk mereka untuk sementara waktu akan ditempatkan.
“Dari itu, kami dari Yayasan Geutanyoe mendesak Pemerintah terkait, baik di tingkat Pusat maupun di tingkat Provinsi Aceh dan Kabupaten Aceh Utara, untuk segera mengambil kebijakan mensolusikan tempat penampungan sementara bagi para pengungsi Rohingya yang secara keseluruhan berjumlah 230 orang tersebut, sebagaimana amanat Perpres No. 125 Tahun 2016,” ujar Nasruddin.
Berdasarkan data yang diperoleh oleh Yayasan Geutanyoe, pengungsi Rohingya sebanyak 230 orang itu terdiri dari 126 orang laki-laki dewasa, 64 orang perempuan dewasa, 49 orang anak-anak dan 1 orang balita usia 10 bulan.
“Mereka saat ini sangat membutuhkan penanganan segera, tidak hanya dari sisi kebutuhan tempat tinggal, tapi juga kebutuhan untuk konsumsi dan perawatan kesehatan, terutama bagi perempuan dan anak-anak, setelah mereka terdampar sekian lama di perairan laut lepas.
Atas nama kemanusiaan, tentu saja nasib pengungsi Rohingya tidak terbatas pada tanggung jawab pemerintah saja. Dari itu, Yayasan Geutanyoe menyerukan kepada berbagai pihak untuk peduli dalam bentuk apapun yang mungkin untuk dikontribusikan.
Pada kesempatan ini, Yayasan Geutanyoe juga meminta kepada Pemerintah, dalam hal ini kepada Pj Gubernur Aceh Achmad Marzuki, untuk segera membentuk Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Pengungsi Luar Negeri (PPLN) Tingkat Provinsi Aceh.
Hal ini diperlukan untuk adanya kejelasan mengenai badan yang bertanggung jawab sebagai leading dalam isu penanganan pengungsi luar negeri.
Bagaimanapun, posisi geografis Aceh yang berhadapan dengan Laut Andaman dan berada di perairan Selat Malaka, adalah salah satu diantara jalur perlintasan laut tersibuk di dunia.
Tidak hanya sebagai jalur perlintasan barang, tetapi juga orang, yang termasuk diantaranya menjadi jalur perlintasan para pengungsi luar negeri, terutama para pengungsi etnis Rohingya. Karena itu, pesisir Aceh selalu akan menerima para pengungsi luar negeri yang terdampar di laut kawasan tersebut.
Yayasan Geutanyoe sendiri menyatakan komitmen untuk mendukung dan bekerja sama dengan berbagai pihak, terutama dengan pemerintah, dalam isu kemanusiaan terkait penanganan pengungsi luar negeri di Aceh.
“Kami siap melakukan komunikasi dan koordinasi dengan berbagai unsur pemerintah terkait dan berbagai pihak lainnya demi kelancaran dan maksimalnya pelayanan kemanusiaan dalam penanganan pengungsi luar negeri,” pungkasnya.