Wartanusa.id | Ada tiga fenomena utama korupsi, yaitu penyuapan (bribery), pemerasan (extortion), dan nepotisme (nepotism). Persoalan korupsi sudah bukan hal baru lagi di tengah kehidupan masyarakat.
Indonesia merupakan negara yang terus mendorong pencegahan dan pemberantasan korupsi di segala bidang. Hal ini menjadi perhatian pemerintah karena perilaku korupsi punya dampak buruk di dalam segala lini kehidupan.
Korupsi yang terjadi di negeri ini bak seperti erupsi gunung merapi sehingga menjadi bencana, tidak hanya di indonesia akan tetapi juga sudah menjadi bencana dunia yang banyak menelan korban.
Bencana erupsi korupsi di negeri ini seakan tak pernah ada kata berakhir terus menelan korban serta bagaikan suatu tradisi turun menurun yang harus dijalankan, baik itu dari para pejabat negara, provinsi, kota sampai ke desa.
Begitu masifnya kasus korupsi yang terjadi di negeri ini yang dilakukan oleh para koruptor sehingga dapat mempengaruhi segala aktivitas baik itu pembangunan, perekonomian dan lainnya.
Hadirnya lembaga anti korupsi di indonesia serta eksistensinya dalam menangkap serta menghukum pelaku tindak pidana korupsi selama ini tidak memberikan efek jera terhadap para pelaku korupsi bahkan korupsi yang dilakukan oleh koruptor selalu tumbuh dengan tidak mengenal ruang dan waktu, terus berevolusi, beregenerasi dan bermetamorfosis seiring kemajuan zaman.
Tidak ada yang tidak bisa di korupsi di negeri ini, dimana ada kesempatan tak akan pernah disia-siakan untuk melakukan korupsi.
Para pejabat, pemangku kepentingan dan pegawai pemerintahan seakan punya celah, ruang dan waktu begitu juga di masa pandemi covid-19 yang melanda seluruh dunia, mereka para koruptor dengan segala upaya dapat memanipulasi segala sesuatu demi kepentingan kesejahteraan pribadi, kelompok atau golongan.
Korupsi tumbuh seperti jamur yang tumbuh pada setiap musim hujan. Berbagai upaya telah dilakukan dalam mencegah agar korupsi di negeri ini tidak terjadi, namun korupsi seakan menjadi tradisi bagi para koruptor.
Sebagaimana pengertian dari tradisi dimana tradisi atau kebiasaan adalah sebuah bentuk perbuatan yang dilakukan berulang-ulang dengan cara yang sama. Hal ini juga menunjukkan bahwa orang tersebut menyukai perbuatan itu.
Kebiasaan yang diulang-ulang ini dilakukan secara terus menerus karena dinilai bermanfaat bagi sekelompok orang, sehingga sekelompok orang tersebut melestarikannya.
Sejatinya korupsi bukan merupakan tradisi yang harus diestafetkan tetapi merupakan virus yang mematikan dan menular, siapa saja dapat tertular, virus korupsi ini seakan mentransmisikan kebiasaan buruknya itu dari satu tangan ke tangan lain untuk dilestarikan.
Dari data Indonesia Corruption Watch (ICW) nilai kerugian negara akibat korupsi meningkat. Pada semester 1 2020, nilai kerugian negara dari kasus korupsi sebesar Rp 18,173 triliun, kemudian di semester 1 2021 nilainya mencapai Rp 26,83 triliun.
Dengan kata lain, terjadi kenaikan nilai kerugian negara akibat korupsi sebesar 47,6 persen. Dalam empat tahun belakangan, nilai kerugian negara selalu menunjukkan tren peningkatan, sedangkan angka penindakan kasus korupsi fluktuatif.
Dari fakta di atas tentunya kita setuju bahwa korupsi di negeri yang kita cintai ini harus segera diberantas, siapa saja yang mecoba untuk membuat perbuatan keji tersebut akan dihukum seberat – beratnya.
Pemerintah harus senantiasa mengevaluasi kembali dalam membuat suatu hukum bagi para pelaku korupsi dan secara tegas menindak para pelaku korupsi tanpa adanya belas kasihan.
Pejabat, politisi, akademisi, pakar hukum, mahasiswa dan seluruh masyarakat dalam rangka memperingati hari anti korupsi sedunia tahun 2021 ini mari kita secara bersama-sama berkontribusi menyumbang peran untuk memberantas korupsi sesuai posisi kita masing-masing, hanya dengan itu bencana erupsi korupsi bisa kita cegah.
[Penulis merupakan Penggiat Anti Korupsi, Lulusan Magister Hukum IAIN Langsa]