Menu

Mode Gelap
Seorang Kakek di Langsa Lecehkan Sembilan Bocah Pekan Ini, Pagelaran Budaya Aceh Terpusat di Kota Langsa Proyek Jalan Alue Gadeng-Alue Punti di Kecamatan Birem Bayeun Mangkrak PPA Langsa Sosialisasi Penanganan KDRT Terdampar di Aceh, 230 Etnis Rohingya Butuh Tempat Penampungan

Opini · 18 Feb 2021 00:32 WIB ·

Jalan Panjang Aceh ‘Miskin’


 Foto : Koordinator FL2MI Aceh Amiruddin. Perbesar

Foto : Koordinator FL2MI Aceh Amiruddin.

Wartanusa.id | Dalam catatan sejarah, Aceh dikenal sebagai modal Kemerdekaan bagi Republik Indonesia. Sehingga NKRI bisa berselancar mendapatkan pengakuan dari negara-negara asia maupun timur tengah.

Sebuah isak tangisan Soekarno pecah di tahun 1948 guna meminta belas kasihan rakyat aceh. Di bawah pimpinan Teungku Daud Beureu’eh kedermawanan rakyat ditunjukkan dengan bukti menyumbangkan uang dan emasnya untuk membeli pesawat RI-001 (Seulawah).

Bukan hanya itu saja, seorang tokoh Aceh, Teuku Markam juga memberikan 28 Kg Emas untuk Tugu Monumen Nasional (Monas)

Perjalanan panjang yang dilalui dengan kesepakatan-kesepakatan bersama antara Soekarno dan masyarakat Aceh, menghasilkan aturan pelaksanaan syariat islam dengan kaffah di Indonesia.

Akan tetapi, seiring waktu Indonesia tidak juga menjalankanya, dengan dalih bahwa kemerdekaan diraih bukan hanya oleh darah umat muslim tapi banyak umat beragama.

Indonesia tidak boleh menjadi negara teokrasi alias kecenderungan pada satu agama. Hal ini diakui oleh Soekarno mengucapkan di Kalimantan Selatan 27 Januari 1953.

Sebagai pemimpin dan ulama, Tengku Daud Beureu’eh benar-benar menujukkan tanggung jawabnya yang telah menjadi patron masyarakat.

Karena tuntutan beliau tidak digubris oleh Pemerintah Pusat, maka beliau pun menyatakan perang terbuka dengan bergabung mendirikan Negara DI/ TII. Sebuah perjuangan untuk penegakan syariat islam diberlakukan di Indonesia.

Setelah Seokarno lengser, kekuasaan di bawah Presiden Soeharto benar-benar mengeksploitasi sumber daya alam (Gas bumi) di Aceh. Tetapi, tidak berdampak baik untuk masyarakat Aceh.

Justru sebaliknya, dimana kemiskinan dan kesenjangan sangat terlihat. Militer dikerahkan untuk mengamankan kepentingan pusat, siapa yang berani melawan, benar-benar dihancurkan.

Beranjak dari hal itulah membuat tekad kuat Hasan Tiro dkk melancarkan pergerakan kemerdekaan bagi rakyat Aceh dengan mempelopori Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Namun pemerintah Pusat hanya memberikan UU no 18 tahun 2001, Aceh di berikan otonomi khusus selama 20 tahun.

30 Tahun Perang Pemerintah Republik Indonesia – GAM Teken MoU

Setelah konflik perang 30 tahun, Pemerintah Indonesia – GAM menyepakati perjanjian Damai pada tahun 2005, ditandai dengan pemberian dana otonomi khusus yang berakhir pada tahun 2027.

Namun, baru-baru ini BPS mengeluarkan data, dimana Aceh menjadi provinsi termiskin se-Sumatera tahun 2021.

Dalam Perspektif psikologis dengan melihat sejarah panjang Aceh, dapat dikatakan bahwa Aceh menolak apabila dikatakan provinsi termiskin karena sejak sebelum merdeka Indonesia saja Aceh sudah menjadi daerah yang maju dan makmur dikarenakan perdagangannya.

Dalam Perspektif politis, di balik pelebelan provinsi termiskin saat ini tidak terlepas juga akan berakhirnya otonomi khusus untuk Aceh ditahun 2027, apabila Aceh terus menjadi provinsi miskin maka berpeluang besar Aceh akan mendapatkan kembali otsus tersebut atau sebaliknya diakhir pemberian otsus untuk Aceh kemiskinan akan teratasi dan otsus tidak diperpanjang karena sudah menjadi daerah yang makmur dengan kemiskinan yang rendah.

Apakah Masyarakat Aceh Menilai Diri Sendiri Miskin?

Mungkin kita menemukan jawaban bahwa jarang yang mengakuinya. Semiskin-miskinnya rakyat Aceh, mereka tetap masih dapat makan dan menjalani hidup bahagia.

Sudah saatnya masyarakat Aceh tidak terprovokasi dengan hasil yang dikeluarkan oleh instansi yang menjadi tolak ukur kemajuan di negara ini.

Masyarakat Aceh harus kembali lagi menilik bahwa hampir disetiap desa memiliki madrasah-madrasah pendidikan yang menjadi laboratorium ilmu untuk meningkatkan sumber daya manusia agar tidak membebani pemerintah yang sudah cukup lelah menyelesaikan konflik di elit politik.

[Tulisan ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis. Penulis merupakan Koordinator Forum Lembaga Legislatif Mahasiswa Indonesia (FL2MI) Wilayah Aceh]

Artikel ini telah dibaca 240 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Agusni AH : Demokrasi Sukses bersama Penyelenggara Pemilu yang Bebas dan Berkala

22 Desember 2023 - 11:06 WIB

Wakil Ketua KIP Aceh Agusni, AH

Mengenal Aceh dari Tiga Sagoe

15 Oktober 2023 - 12:00 WIB

Bermula dari Makkah, Perlawanan Suku Quraish dan Dilema Menjalankan Sistem Keuangan Syariah di Aceh

13 Mei 2023 - 11:22 WIB

Jaminan Akal-Akalan Penguasa Buruh Makin Resah

21 Februari 2022 - 08:06 WIB

Erupsi Korupsi di Masa Pandemi

9 Desember 2021 - 20:58 WIB

Kegiatan Usaha di Aceh Tumbuh Positif

1 November 2021 - 18:01 WIB

Foto : Kepala BI Aceh, Achris Sarwani.
Trending di Aceh