Pelaksanaan kebijakan tes massal Covid 19 dengan Rapid Test secara gratis oleh Pemerintah Aceh dan juga Kabupaten/Kota, ditanggapi beragam oleh masyarakat.
Hal ini bukan tanpa sebab, karna Rapid Test dianggap tidak menghasilkan data yang akurat, WHO pun tidak merekomendasi penggunakan alat ini untuk mendeteksi Covid-19.
Pemerintah Aceh perlu meninjau ulang program tes covid secara massal di Provinsi Aceh dengan media Rapid Test.
Menurutnya, kalaupun mau dilakukan tes massal lebih baik langsung dengan uji swab atau Polymerase Chain Reaction (PCR). Sehingga hasilnya yang didapat lebih akurat, walaupun beberapa kasus hasil uji swab pun bisa berubah-ubah.
Tes massal dengan rapid test hanya membuat pemerintah Aceh berkerja 2 kali buang-buang uang.
Harusnya bisa digunakan untuk memperkuat kampanye pencegahan Covid-19 di akar rumput dengan memperkuat jejaring Puskemas, bukan malah terbuang untuk rapid test.
Keberadaan laboratorium Balitbangkes dan Laboratorium Universitas Syiah Kuala cukup untuk dilakukan test massal dengan PCR secara berjenjang, hal ini pun pernah ditawarkan oleh Rektor Unsyiah, dengan demikian Pemerintah Aceh tidak dua kali kerja.
Uji massal dengan rapid test ini terlalu dipaksakan oleh Pemerintah Aceh, kita jadi heran apakah tim gugus Covid-19 Pemerintah Aceh tidak punya ide kreatif untuk melahirkan kebijakan yang lebih subtansial dalam upaya memotong rantai pandemi ini.
Misalnya dengan memperkuat Puskemas di seluruh Aceh, baik dalam proteksi Tenaga Kesehatan, tugaskan Puskesmas untuk mendampingi program kesehatan pemerintah gampong, besarkan biaya preventif dan promotif Puskesmas agar kampanye pencegahan lebih masif.
Bayangkan jika kita prediksi harga satu rapid test itu Rp. 300.000 dengan jumlah yang direncanakan sampai dengan 25.000 jiwa, berapa miliyar uang terbuang sia-sia.
Seandainya dialihkan untuk program promosi kesehatan dilevel Puskesmas cukup esensi. Atau bisa dilakukan dengan test PCR lalu jumlahnya dikecilkan kembali, orang yang diujipun mereka yang punya potensi atau seorang carrier.
Bukankah diperbatasan Provinsi dan kabupaten sudah ada data yang telah di screning dasar dan riwayat perjalanannya sudah ada? Harusnya mereka dijadikan sampel ujinya.
Untuk diketahui rapid test tidak bisa digunakan untuk mendeteksi keberadaan Covid-19, sehingga tidak bisa dijadikan patokan untuk diagnosa Covid-19.
Uji ini dilakukan hanya untuk mendeteksi apakah di dalam darah terdapat anti bodi IgM dan IgM yang bertugas melawan virus Corona atau yang sejenisnya.
(Penulis adalah Dosen FKM Univ. Teuku Umar/Mahasiswa Program S3 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara)