Ada sebuah kata bijak yang ketika orang menyebutnya membuat kita memikirkan hakikat kebenarannya, “Kita makan untuk hidup, bukan hidup untuk makan”. Manusia hidup di dunia ini butuh makan dan minum untuk kelangsungan hidupnya, makan tidak hanya sebagai sumber energi melainkan juga sumber keta’atan kepada Allah Swt.
Didalam konsumsi tidak hanya perihal mengenai makanan, akan tetapi semua penggunaan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan pun termasuk kedalam konsumsi. Salah satu etika kita dalam mengkonsumsi sesuatu, hendaknya tidak berlebihan. Ibnu Khaldun mengatakan di dalam bukunya “Mukaddimah Ibnu Khaldun” dalam mengkonsumsi makanan, bahwa sesungguhnya lapar itu lebih baik bagi tubuh daripada memperbanyak makanan bagi orang yang mampu lapar atau menyedikitkan makanan. Lapar itu berpengaruh terhadap tubuh dan akal, karena lapar akan menjernihkanya dan memperbaikinya. Ketika orang belajar, bekerja dan akan memulai kegiatannya, butuh energi untuk memberikan kekuatan kepada tubuh dan akal dalam mengerjakan semua hal tersebut.
Jika jiwa membiasakan sesuatu, maka sesuatu itu akan menjadi watak dan tabiatnya. Ketika orang-orang yang bergelimangan dengan kemakmuran dan terbiasa dengan lauk pauk, terlebih samin, usus-usus mereka lebih basah di atas ukuran normal. Ketika kondisi usus yang sudah biasa dengan makanan ini, lalu kebiasaan ini berubah karena jarang makan, tidak ada lauk pauk, dan kalaupun ada, maka makanan yang berjenis kasar, maka usus ini akan cepat mengering dan menyusut. Padahal organ usus itu bersifat sangat lemah. Kemudian ia cepat menderita sakit dan pemiliknya binasa seketika karena hal ini termasuk kondisi yang membinasakan. Kondisi ini terjadi ketika mereka menemui masa paceklik dan kelaparan.
Orang-orang itu binasa karena kelaparan, disebabkan oleh kondisi kenyang yang mereka biasakan sebelumnya, bukan disebabkan oleh kelaparan yang baru datang tersebut. Adapun orang-orang yang sudah terbiasa dengan sedkit lauk pauk dan samin, maka kondisi kebasahan usus mereka tetap seperti biasa dan tidak melewati batas. (Al-Allamah Abdurrahman bin Muhammad bin Khaldun, 2001).
Di dalam konsumsi, hal yang harus kita lakukan adalah menafkahkan harta dalam kebaikan dan menjauhi sifat kikir, dengan menggunakan harta secukupnya, wajib dalam membelanjakan harta dengan tujuan nafkah fii sabilillah dan nafkah untuk diri dan keluarga. Hendaknya didalam konsumsi kita menjauhi kemubadziran dan memerangi tindakan mubadzir, dengan menyeimbangkan pendapatan dan pengeluaran, menjadikan berhutang alternative terakhir, menjaga asset yang pokok, menjauhi bermewah-mewahan, menjauhi pemborosan dan menghamburkan harta.
Batasan islam dalam menggunakan harta dari segi kuantitasnya, yaitu tidak berlebihan dalam konsumsi karena akan menyebabkan hutang, kesombongan dan orang lain tidak bisa mengkonsumsinya. Adapun batasan islam dalam menggunakan harta dari segi kualitasnya, adanya larangan mengkonsumsi miras dan sejenisnya yang memabukkan bahkan dapat merusak akal dan tubuh.
Ketepatan seorang muslim terhadap konsumsi adalah ketika ia bersikap itsar, yaitu berinfak kepada orang lain dengan mengesampingkan kemanfaatan pribadi yang segera didapatkan. Artinya , dia lebih mendahulukan membantu saudaranya ketika membutuhkan dan mengesampingkan hal-hal pribadi yang diinginkan. Dan seorang muslim dikatakan tepat ketika ia menginfakkan pemasukannya untuk merealisasikan sebesar mungkin kemanfaatan dunia dan akhirat dalam batas-batas kaidah syariah. (DR. Jaribah bin Ahmad Al-Haritsi, 2006).
Tujuan kita memanajemen penggunaan harta adalah untuk pendidikan moral, pendidikan masyarakat, pendidikan ekonomi, pendidikan kesehatan serta pendidikan kedaulatan politik dan militer. Dalam konteks bernegara pun, islam memerintahkan untuk mengelola keuangan agar tepat sasaran dan sederhana. Tujuannya agar, mengorientasi hidup normal dengan persiapan krisis, kebebasan individu terbatasi dengan kemaslahatan orang banyak, sederhana dalam menggunakan uang Negara dan tidak berlebih-lebihan, dan juga seimbang dengan adanya bimbingan, pengarahan, dan undang-undang.
Referensi
Al-Allamah Abdurrahman bin Muhammad bin Khaldun. (2001). Mukaddimah Ibnu Khaldun. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
DR. Jaribah bin Ahmad Al-Haritsi. (2006). Fikih Ekonomi Umar Bin Khattab. Jakarta: KHALIFA ( Pustaka Al-Kautsar Grup ) .