Wartanusa.id | Sejak Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengumumkan COVID-19 sebagai pandemi global pada 11 Maret 2020, dunia dihadapkan pada berbagai gejolak ekonomi yang luar biasa. Tak terkecuali sektor perbankan, yang turut merasakan dampak dari ketidakpastian ini. Namun, bagaimana dampak tersebut bagi perbankan Islam di negara-negara Muslim, termasuk Indonesia?
Melihat fenomena ini dari kacamata ekonomi, khususnya perbankan Islam, ada beberapa hal penting yang perlu kita pahami. Pandemi tidak hanya memengaruhi perekonomian secara keseluruhan, tetapi juga memengaruhi tingkat likuiditas dan profitabilitas bank, terutama dalam mengelola dana dan aset.
Likuiditas dan Profitabilitas: Dua Indikator Kunci
Dua indikator yang sering digunakan untuk mengukur kesehatan sebuah bank adalah likuiditas dan profitabilitas. Dalam konteks ini, Return on Assets (ROA) menjadi salah satu alat ukur profitabilitas yang sering digunakan untuk melihat efisiensi bank dalam menghasilkan laba dari aset yang dimilikinya. Sedangkan Likuiditas mengukur kemampuan bank untuk memenuhi kewajiban keuangan jangka pendek.
Pandemi COVID-19 telah menciptakan ketidakpastian besar yang mengarah pada pengurangan daya beli, peningkatan pengangguran, serta penurunan transaksi ekonomi. Semua faktor ini berdampak pada likuiditas dan profitabilitas bank. Bahkan, beberapa bank terpaksa menghadapi kesulitan likuiditas akibat penurunan volume transaksi dan penurunan kepercayaan masyarakat.
Dampak Pandemi terhadap Bank Islam
Melihat fenomena yang terjadi di Indonesia, Pakistan, Bangladesh, dan Turki, ada perbedaan signifikan dalam bagaimana bank-bank ini mengelola likuiditas dan profitabilitas mereka selama pandemi. Hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa meskipun Indonesia dan Pakistan mencatatkan kenaikan signifikan dalam Return on Assets (ROA) selama pandemi, hal yang sama tidak terjadi di Bangladesh dan Turki.
Namun, di sisi lain, Indonesia dan Pakistan menunjukkan perbedaan yang tidak signifikan dalam hal Likuiditas, yang menunjukkan bahwa meskipun terjadi sedikit penurunan, perbankan Islam di kedua negara ini mampu mengelola krisis dengan baik. Di Bangladesh, terjadi penurunan likuiditas yang signifikan, yang mengindikasikan kesulitan dalam memenuhi kewajiban jangka pendek.
Sebaliknya, Turki berhasil mempertahankan atau bahkan meningkatkan likuiditas secara signifikan, menunjukkan bahwa perbankan Islam di Turki telah lebih siap dalam menghadapinya. Hal ini menunjukkan pentingnya peran manajemen risiko yang baik dalam menghadapi ketidakpastian ekonomi.
Apa yang Dapat Dipelajari dari Pengalaman Ini?
Pelajaran utama yang bisa kita ambil dari analisis ini adalah bahwa perbankan Islam, dengan prinsip-prinsip syariahnya, memiliki kemampuan untuk bertahan dalam situasi yang penuh tantangan. Bahkan, di tengah pandemi, beberapa bank Islam di negara-negara tersebut berhasil menunjukkan kinerja yang baik, terutama dalam hal profitabilitas.
Namun, tantangan tidak berhenti hanya pada masa pandemi. Di masa depan, perbankan Islam perlu lebih mengutamakan peningkatan likuiditas dan mempertahankan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan dana. Peningkatan kapasitas dalam pengelolaan risiko akan menjadi kunci bagi perbankan Islam untuk tetap relevan dan tangguh dalam menghadapi guncangan ekonomi global.
Rekomendasi untuk Masyarakat dan Bank Sentral
Sebagai masyarakat, kita perlu lebih memahami bagaimana prinsip-prinsip syariah dalam perbankan Islam berkontribusi pada perekonomian yang lebih stabil, meskipun dalam situasi krisis. Sementara itu, bagi Bank Indonesia dan lembaga terkait lainnya, penting untuk terus mengawasi dan memberikan dukungan bagi bank-bank Islam dalam mempertahankan kesehatan keuangan mereka, terutama dalam menjaga likuiditas dan profitabilitas.
Pandemi COVID-19 menjadi ujian berat bagi banyak sektor, namun di balik tantangan ini, ada peluang bagi perbankan Islam untuk berkembang lebih baik lagi. Jika kita mampu belajar dari pengalaman ini, perbankan Islam di Indonesia, termasuk di Sumatera Utara, dapat berkontribusi lebih besar dalam mendorong perekonomian yang lebih inklusif dan berkelanjutan.
Penulis: Anwar Sanusi, Pengamat Ekonomi Sumatera Utara