Wartanusa.id – Di awal tahun 60-an, Jakarta telah dihuni oleh banyak geng-geng pemuda etnis dan komunitas berbasis geng anak muda, sebut saja Geng Bearland, Geng Siliwangi, Geng Radio Dalam, Geng Nudge Rocker, the Ams, the Pamors (Padang-Manado), dan Santana (geng dari Manado yang berbasis di kawasan bisnis Sarinah-Tanah Abang). Anak dari tentara atau perwira biasanya sering memimpin kelompok-kelompok ini.
Setelah era Orde Baru bergulir, pemerintah yang kala itu dipimpin oleh Soeharto mengaami kesulitan dalam memobilisasi geng-geng tersebut meskipun saat itu pemerintah Orde Baru menurunkan Kopkamtib, Bakin, dan perintah komando regional yang ditujukan untuk melatih dan membina sekumpulan anak muda tersebut kembali ke jalan yang benar.
Banyak anggota geng yang menolak untuk ‘direhabilitasi’ kala itu. Mereka memilih untuk hidup sebagai preman professional dan penjahat kelas kakap. Pada awal 1980an, geng-geng tersebut memulai kamuflase nya dengan dalih sebagai “mitra layanan keamanan” yang bertugas menjaga keamanan dan penagih hutang (debt collector).
Beberapa kelompok tersebut memang ada yang menandatangani perjanjian dengan militer dan kepolisian untuk memberikan payung hukum dan perlindungan. Namun akhirnya pemerintah pun muncul rasa khawatir jika ini terus dibiarkan maka bisa terjadi seperti halnya Yakuza di Jepang.
Di lain sisi, era Orde Baru memang dikenal dengan praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme atau yang lazim disingkat KKN. Tidak hanya menjerat golongan teratas pimpinan negara kala itu, akan tetapi mulai mengakar ke sendi-sendi perekonomian kelas menengah bawah. Oleh karena itu untuk memberantas hal tersebut pemerintah melalui Kepala Staf Kopkamtib Laksamana Sudomo meluncurkan Operasi Tertib pada pertengahan tahun 1977 dengan menargetkan praktik korupsi kecil-kecilan, terutama pencurian dan pungli transportasi.
Banyak yang menilai, operasi ini hanya tajam ke bawah saja akan tetapi tidak berani menyentuh pucuk pemerintahan yang lebih tinggi yang diketahui telah mengadakan korupsi secara sistemik. Namun, upaya Operasi Tertib itu terus dijalankan hingga akhir 1970-an. Puncaknya, Sudomo melancarkan operasi militer dengan skala besar yang dikenal dengan sebutan Operasi Sapu Jagad selama tahun 1981 guna mengumpulkan senjata illegal yang dicurigai untuk keperluan kejahatan jalanan yang dinilai bisa mengacau di Pemilu tahun 1982.
Operasi tersebut pun tak urung memicu ketidak percayaan masyarakat kepada kepolisian hingga pengadilan. Belum lagi krisis ekonomi yang melanda saat itu mengakibatkan tingkat pengangguran yang tinggi serta para gangster yang dimanfaatkan untuk mengamankan kampanye pemilu tahun 1982, mengakibatkan Jakarta dan kota-kota lain terganggu oleh gelombang kejahatan. Perampokan bersenjata pun umum ditemukan kala itu di transportasi umum.
Dikutip dari Wikipedia, Pada tahun 1983 tercatat 532 orang tewas, 367 orang di antaranya tewas akibat luka tembakan. Pada Tahun 1984 ada 107 orang tewas, di antaranya 15 orang tewas ditembak. Tahun 1985 tercatat 74 orang tewas, 28 di antaranya tewas ditembak. Para korban Petrus sendiri saat ditemukan masyarakat dalam kondisi tangan dan lehernya terikat. Kebanyakan korban juga dimasukkan ke dalam karung yang ditinggal di pinggir jalan, di depan rumah, dibuang ke sungai, laut, hutan dan kebun. Pola pengambilan para korban kebanyakan diculik oleh orang tak dikenal dan dijemput aparat keamanan. Petrus pertama kali dilancarkan di Yogyakarta dan diakui terus terang M Hasbi yang pada saat itu menjabat sebagai Komandan Kodim 0734 sebagai operasi pembersihan para gali dan preman.
Mirip dengan operasi pemberantasan kriminal semasa pendudukan Jepang, operasi Petrus tidak dimaksudkan untuk membungkap perbedaan pendapat, tetapi sebagai instrumen kebijakan sosial. Operasi gabungan intelijen-militer yang direncanakan sangat hati-hati dan sistematis itu dimaksudkan untuk memulihkan stabilitas pasca timbulnya kerusuhan sosial. Kebanyak korban Petrus adalah para preman terkenal dan mantan narapidana dengan catatan kriminal yang panjang. Regu penembak misterisu mengetahui target mereka dengan tato di bagian paha mereka untuk mengidentifikasi apakah mereka termasuk anggota geng gali atau bukan.
Bagi mereka yang lolos dari insiden penembakan misterius pun tidak serta merta mneghadapi hidup tenang. Mereka yang terbukti dulunya merupakan anggota geng gali dan sudah masuk kedalam daftar hitam regu petrus pun berusaha menghilangkan identitas dan atribut gengnya, misalkan dengan menghapus tato. Adapula lainnya langsung menyerahkan diri ke pihak berwajib dan memilih untuk mendekam di balik jeruji besi ketimbang tamat oleh timah panas sang regu pengadil petrus.
Setelah berpuluh-puluh tahun, Komnas HAM berhasil menemukan bukti yang cukup untuk menyatakan ada pelanggaran HAM berat pada peristiwa penembakan misterius atau biasa dikenal dengan istilah ‘Petrus’ pada tahun 1982–1985 itu.
(as)