Wartanusa.id | Pada akhir tahun 2018, Pemerintah Provinsi Aceh menerbitkan Qanun Aceh Nomor 11 Tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah (Qanun LKS).
Qanun ini mengatur bahwa seluruh lembaga keuangan, termasuk bank yang beroperasi di wilayah Serambi Mekkah, wajib dijalankan berdasarkan prinsip syariah. Qanun LKS di Aceh mulai berlaku sejak 4 Januari 2019.
Namun kenyataannya baru seumur jagung qanun ini diberlakukan, pada akhir 2020 pemerintah aceh melalui Gubernur Aceh Nova Iriansyah mengeluarkan statement pengajuan perubahan Qanun NO.11 Tahun 2018 ke DPRA.
Seperti draft yang beredar luas di masyarakat, pemerintah aceh akan menunda dan merevisi qanun tersebut. Bahkan pemerintah akan tetap memperpanjang keberadaan bank konvensional di aceh hingga tahun 2026.
Lantas mengapa setelah perencanaan, penyusunan, rapat hingga terbitlah Qanun LKS ini sekarang pemerintah ingin emnunda bahkan merevisi Qanun LKS.
Siapakah yang dapat menjamin, jika Qanun ini ditunda dan pasti akan dilaksanakan di tahun 2026? Bukankah harusnya ini adalah kabar baik jika kita terbebas dari riba?
Sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Quran Surat Ali Imran ayat 130 yang Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.”
Kemudian dalam hadis Rasulullah SAW bersabda : “Satu dirham yang dimakan oleh seseorang dari transaksi riba sedangkan dia mengetahui, lebih besar dosanya daripada melakukan perbuatan zina sebanyak 36 kali.” (HR. Ahmad dan Al Baihaqi dalam Syuabul Iman. Syaikh Al Albani dalam Misykatul Mashobih mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Menurut pemerintah alasan penundaan Qanun LKS diantaranya adalah karena lembaga keuangan yang ada di aceh sekarang tidak memiliki fasilitas lengkap dan belum siap kemudian bank syariah dianggap menghambat proses ekspor komoditi pengusaha aceh karna tidak semua negara tujuan memiliki bank syariah.
Terdapat pro dan kontra terhadap keputusan pemerintah ini. Kaum pro diantaranya adalah Dewan Pengurus Daerah (DPD) Real Estate Indonesia (REI), Kamar Dagang Dan Industri Indonesia (KADIN), Direktur Utama PT.Perapen Mandiri (Ir. Mawardi), Ketua Himpunan Taman Rekreasi Indonesia Provinsi Aceh (Zulfitri), Kepala Badan Pengusahaan Kawasan Sabang (BPKS), serta banyak lagi.
Penolakan diberlakukannya Qanun Lembaga Keuangan Syariah ini hanya oleh segelintir orang saja, masih banyak masyarakat Aceh yang mendukung diberlakukan kebijakan yang bertujuan menjauhkan masyarakat dari praktik Riba ini, jadi sudah seharusnya Gubernur Aceh bersikap Tegas.
Dapat dilihat bahwa mayoritas kalangan pro penundaan Qanun LKS ini adalah kaum pengusaha, anggapan mereka hampir sama yakni bank syariah tidak mampu berdiri sendiri tanpa sejalan dengan bank konvensional serta sdm yang belum mumpuni dalam bidang syariah.
Sebagai mahasiswi perbankan, saya tidak setuju terhadap statement tersebut. Dapat dilihat bahwa saat ini minat masyarakat terhadap bank syariah sangatlah tinggi, dengan adanya qanun LKS hal ini akan memberikan aceh keistimewaan corak tersendiri dalam praktik bermuamalah sesuai anjuran Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW.
Untuk sdm yang tidak mumpuni, saya rasa ini sangatlah keliru. Aceh memiliki 2 kampus besar dengan konsen perbankan syariah yaitu UIN Ar-Raniry dan IAIN Langsa yang tiap tahunnya mampu melahirkan ratusan mahasiswa/i lulusan terbaik.
Dan diantara ratusan lulusan tersebut tidak ada sdm yg mumpuni? Alasan ini terlalu mengada-ada.
Gubernur Aceh harus konsisten dalam menerapkan Qanun LKS dan tidak lagi bersikap ragu-ragu dalam penerapan Qanun tersebut. Karena Qanun LKS ini juga telah ditetapkan dan disepakati bersama sejak tahun 2018.
Jika alasan dilakukan penundaan karena sistem dan pelayanannya yang masih kurang sempurna, maka Pemerintah Aceh harus mendorong pelaku Bank di Aceh untuk memperbaiki sistem, meningkatkan pelayanan dan memperbaiki komponen-komponen pendukung lainnya, bukan malah ditunda kebijakan ataupun di ubah qanunnya.
Jika hal tersebut dilakukan hanya akan menurunkan kepercayaan masyarakat kepada Pemerintah Aceh yang sudah beberapa kali terkesan coba-coba dalam menjalankan sebuah kebijakan.
Pemerintah tidak perlu mengambil “jalan aman” terhadap tekanan oleh segelintir pengusaha. Aceh berdiri bukan hanya untuk pengusaha, ada 5 juta rakyat aceh lainnya yg seolah di anaktirikan oleh keputusan ini.
Qanun LKS tidak perlu ditunda. Tidak perlu menunda untuk terlepas dari praktik ribawi.
[Tulisan ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis. Penulis merupakan Mahasiswa IAIN Langsa Prodi Perbankan Syariah]