Wartanusa.id | Tahun terus berganti, namun nasib buruh masih keruh. Sekuat apa pun membanting tulang, hasil yang didapatkan tetap jauh dari mencukupi kebutuhan hidup yang layak bagi para buruh dan keluarganya.
Mereka menerima gaji/upah yang rendah, itu pun masih dihadapkan pada kondisi harus bersaing dengan tenaga kerja asing yang masuk, lapangan pekerjaan yang semakin sempit, di sisi lain harga kebutuhan pokok terus naik.
Islam telah menetapkan, bekerja merupakan kewajiban mulia bagi setiap manusia agar dapat hidup layak dan terhormat.
Karenanya, Islam memberikan penghargaan yang tinggi terhadap pekerjaan dan buruh yang bekerja serta mendapatkan penghasilan dengan tenaganya sendiri wajib dihormati.
Bahkan, kedudukan buruh dalam Islam menempati posisi terhormat. Rasulullah SAW pernah menjabat tangan seorang buruh yang bengkak karena kerja keras, lalu menciumnya dan berkata : “Inilah tangan yang dicintai Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Bukhari).
Pekerja (ajir) adalah setiap orang yang bekerja dengan gaji (upah) tertentu, baik yang mempekerjakan (musta’jir)-nya, pribadi, jamaah, maupun negara.
Karena itu, pekerja mencakup orang yang bekerja dalam bidang kerja apa pun (dengan catatan bukan pekerjaan yang terlarang menurut Islam), tanpa dibedakan apakah pegawai negara maupun pekerja lain.
Ijarah didefinisikan sebagai akad atau transaksi atas manfaat atau jasa yang diberikan pekerja dengan memperoleh imbalan berupa gaji atau upah dari majikan atau perusahaan.
Ini berarti, apa yang mendasari akad atau transaksi adalah manfaat atau jasa yang diberikan pekerja, bukan kebutuhan hidup pekerja atau yang lainnya.
Atas dasar di atas, Islam tidak menyertakan kebutuhan-kebutuhan pekerja akan jaminan kesehatan, pendidikan, keamanan, dan lain-lain dalam transaksi ijarah.
Definisi ijarah itu hanya terkait dengan manfaat yang diberikan oleh pekerja, serta dibayar dengan gaji yang disepakati oleh kedua belah pihak.
Alhasil, jika manfaat yang diberikan oleh pekerja itu sedikit, maka upahnya juga kecil sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak.
Sesungguhnya Islam tidak pernah mengenal masalah perburuhan sebagaimana yang terjadi dalam sistem kapitalis yang diterapkan saat ini.
Bahkan, Islam memposisikan pembantu sebagai saudara majikannya. Dari Abu Dzar radhiallahu’anhu, Rasul SAW bersabda : “Saudara kalian adalah budak kalian. Allah jadikan mereka di bawah kekuasaan kalian.” (HR. Bukhari no. 30).
Islam juga memberi peringatan keras kepada para majikan yang menzalimi pembantunya atau pegawainya.
Dalam hadits qudsi dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Rasul SAW meriwayatkan, bahwa Allah SWT berfirman : “Ada 3 orang, yang akan menjadi musuh-Ku pada hari kiamat : … orang yang mempekerjakan seorang buruh, si buruh memenuhi tugasnya, namun dia tidak memberikan upahnya (yang sesuai).” (HR. Bukhari 2227 dan Ibn Majah 2442).
Kewajiban pekerja adalah bekerja mengikuti spesifikasi pekerjaan yang disepakati dengan majikan atau perusahaan, menepati waktu kerja (jam kerja dalam sehari, hari dalam seminggu, dsb.), jangka waktu kontrak dan semua syarat yang telah disepakati.
Sedangkan majikan atau perusahaan wajib memberi upah sesuai dengan kesepakatan, yang wajib dibayar tepat pada waktunya.
Oleh karena itu, setiap orang yang sudah menyetujui perjanjian, baik ia sebagai pekerja maupun majikan atau perusahaan, wajib mentaati dan menjalankannya dengan bersungguh-sungguh karena mematuhi perjanjian (akad) dalam Islam termasuk kewajiban yang pasti. Melalaikan kewajiban atau melanggar akad merupakan dosa besar dan wajib diberikan hukuman.
Adapun mengenai jaminan pelayanan kesehatan yang diberikan kepada para buruh, pada dasarnya tak lebih merupakan bentuk tambal sulam sistem kapitalis untuk memenuhi kebutuhan kaum buruh yang dianggap tidak mampu.
Padahal, ketetapan ini justru menghilangkan kewajiban negara untuk memberikan jaminan kepada rakyatnya agar bisa memenuhi kebutuhannya.
Karena kewajiban ini merupakan kewajiban negara. Bukan kewajiban majikan atau perusahaan.
Hanya sistem Islam yang memiliki solusi menyeluruh dalam masalah buruh. Islam memuliakan siapa saja yang bekerja berusaha memenuhi kebutuhan diri dan keluarganya dengan jenis pekerjaan apa pun yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam, tak terkecuali bekerja sebagai buruh.
Islam juga mewajibkan negara mengurus mengayomi kebutuhan pokok tiap-tiap rakyatnya. Sehingga profesi buruh pun sama baiknya sebagaimana jenis pekerjaan lainnya, tidak seperti dalam sistem kapitalis dimana buruh dipandang sebagai pekerja golongan rendah.
Nasib buruh masih akan terus keruh selama diselesaikan dengan sistem kapitalis. Karena sistem ini tidak akan pernah menyentuh akar masalah perburuhan, hanya solusi parsial yang justru menimbulkan masalah-masalah baru di kemudian hari. Wallahu’alam.
[Opini ini sepenuhnya tanggung jawab Penulis yang merupakan Aktifis Dakwah dan Pemerhati Masalah Sosial dan Politik di Kaltim]