Wartanusa.com – Bagi warga pulau Madura, Idul Adha ini identik dengan Hari raya besar atau Hari raya agung. Mungkin sudah menjadi tradisi atau turun temurun, apabila Idul Adha tiba mereka pasti sebisa mungkin pulang ke kampung halaman mereka untuk bertemu keluarga maupun sanak saudara.
Tradisi pulang kampung di saat Idul Adha, bagi masyarakat madura disebut dengan istilah “Toron”. Kalau diartikan dalam bahasa Indonesia, yang berarti Turun. Entah dari mana datangnya istilah tersebut, mungkin pada jaman dahulu pulau Jawa letaknya di Atas pulau Madura.
Namun setelah kami telusuri dari berbagai literatur, istilah Toron ini bukan hanya khusus untuk Idul Adha saja, Idul Fitri dan Maulid Nabi Muhammad SAW pun demikian. Istilah ini mempunyai beberapa pengertian, diantaranya seperti yang diucapkan KH. Mustofa Bisri, “Penyebutan toron malah memperlihatkan sikap kerendah-hatian orang Madura. Masyarakat Madura menganggap orang Jawa lebih tinggi karena itu merupakan sikap menghargai dan memuliakan orang lain”.
Ada pula yang berpendapat, bahwa pada jaman walisongo yang mengajarkan islam di tanah jawa mempunyai banyak murid, dari sekian banyak murid-murid nya ada yang ber-suku Madura. Nah, seusai berguru pada sang wali akhirnya murid-murid tersebut pamit untuk pulang (turun gunung) ke tanah leluhurnya. Maka dari itu istilah “Toron” itu berasal.

Dari sekian banyak pengertian tentang Toron, juga ada beberapa makna yang menyertainya. Seperti yang kami kutip dari salah satu blogger asli Madura, lingkaran-koma.blogspot.co.id, yang menjelaskan bahwa Istilah “Toron” mempunyai tiga makna yaitu:
1. Kuatnya Ikatan Kekerabatan dan kekeluargaan yang berkembang antar orang madura.
Disini artinya mereka para perantau akan berusaha semampu mungkin untuk pulang ke tanah leluhur mereka hanya untuk sekedar bersilaturahmi dengan sanak keluarga, meskipun hanya beberapa hari saja.
2. Nasionalisme lokal (Harga diri).
Maksudnya, Toron bukan berarti Turun Derajat atau rendahan tapi lebih kepada sikap rendah hati. Orang Madura mempunyai prinsip: “Lebbi Begus Pote tolang atembeng pote mata” yang artinya lebih baik putih tulang (mati) dari pada putih mata (malu). Jadi apabila menyangkut harga diri atau nasionalisme mereka direndahkan maka tidak segan-segan mereka berani mati demi harga diri yang baik.
3. Pemeliharaan warisan leluhur (budaya).
Dikarenakan tradisi ini sudah turun temurun dan membudaya di masyarakat madura, maka sepatutnya perlu dilestarikan. Ini tidak lain agar warisan leluhur ini tidak tergerus oleh majunya jaman.
Oleh karena itu Toron merupakan sesuatu hal yang sangat sakral dan penting bagi masyarakat madura yang berada di perantauan, karena bagi mereka jika tidak melakukan Toron berarti mereka sudah dianggap bukan sebagai warga madura lagi. Dalam artian sudah tidak melestarikan warisan leluhur, tidak mempunyai jiwa nasionalisme lokal serta sudah lupa terhadap sanak serta saudara-saudara mereka.