Photo: tjahjokumolo.com
Wartanusa.id – Belakangan ini kondisi perpolitikan di Indonesia sedang memanas. Bukan hal yang urgensi sepertinya, melainkan isu pencemaran nama baik terus-terusan dikumandangkan oleh sejumlah elit politik di negeri ini kepada sang pemimpin. Pun begitu, media pun turut memberitakan panasnya saling lapor atas keterkaitan dengan pemberitaan isu penistaan hingga pencemaran nama baik.
Hal inilah yang membuat Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo ikut bicara mengenai keadaan dan situasi yang sempat memanas belakangan ini. Menurutnya, publik Indonesia patut mencontoh Korea Utara dalam menghormati pemimpinnya, Kim Jong Un.
Tapi analogi yang dilontarkan sang mendagri dapat memicu isu baru lagi. Dalam satu kesempatannya, Tjahjo mengatakan bagaiman pemimpin Korea Utara, Kim Jong Un sangat dihormati oleh warganya.
“Kita harus mencontoh negara-negara yang lebih kecil dari kita, Korea Utara misalnya. Dari anak-anak sampai dewasa, sangat menghormati pendiri negara dan ideology mereka,” ujar Tjahjo.
Banyak yang tak habis pikir dengan analogi sang menteri yang juga kader dari PDI P tersebut. Bagaimana ia tidak bisa membedakan mana yang menghormati dan mana yang takut atas kediktatoran Kim Jong Un yang dikenal sangat keras dan kokoh dalam memegang ideologi komunis.
Apakah sang menteri ingin NKRI berubah menjadi negara yang totaliter seperti Korut? Tentunya, hal ini bisa membawa dampak buruk mengingat dasar negara kita bukanlah komunis dan fasis dimana rakyat harus tunduk pada pemerintahnya.
Ya, memang perubahan ideolog seperti itu rasanya sangat jauh terjadi di Indonesia. Dalam kesempatan itu juga, Tjahjo Kumolo menghimbau agar masyarakat Indonesia tetap memegang teguh nilai-nilai Pancasila, salah satunya dengan mengikuti pelatihan bela negara.
“Peserta yang ikut wajib militer, ikut pendidikan bela negara, harus dipisah, (bela negara) tidak otomatis harus wamil, bedakan, ini ada proses seleksi. Orang masuk Lemhanas kan juga ada proses seleksinya, orang maju DPR juga ada seleksinya,” ujarnyanya.
“Tapi yang penting, sekolah, SD, SMP, SMA, perguruan tinggi itu harus ada kurikulum bela negara, mengenai Pancasila. Kalau tidak, nanti 100 tahun lagi orang ditanya apa Pancasila, siapa pendiri republik ini, mereka tidak tahu kan repot,” sambungnya.
Namun demikian kaitannya dengan menghormati pemimpin, Tjahjo berkata sah-sah saja rakyat mengkritik pemerintah, asalkan tidak menghina presiden yang menjadi simbol negara.
(as)