Menu

Mode Gelap
Seorang Kakek di Langsa Lecehkan Sembilan Bocah Pekan Ini, Pagelaran Budaya Aceh Terpusat di Kota Langsa Proyek Jalan Alue Gadeng-Alue Punti di Kecamatan Birem Bayeun Mangkrak PPA Langsa Sosialisasi Penanganan KDRT Terdampar di Aceh, 230 Etnis Rohingya Butuh Tempat Penampungan

Opini · 18 Mar 2021 14:44 WIB ·

Sesat Pikir Pergaulan Bebas


 Sesat Pikir Pergaulan Bebas Perbesar

Menukil laman serambinews.com pada tanggal (16/3/2021) yang memberitakan bahwa tersangka kasus persetubuhan yang menyebabkan gadis dibawah umur, seorang siswi salah satu madrasah aliyah di Bireun melahirkan bayi berjenis kelamin laki-laki di ruangan UKS akhirnya terungkap.

Pria berinisial ZM tersebut mengakui perbuatannya dan siap bertanggung jawab. Dari hasil pemeriksaan sementara perbuatan tersangka dikategorikan kasus pemerkosaan, sebab itu tersangka akan dikenakan Qanun Jinayat Nomor 6 tahun 2014.

Pergaulan bebas bukan isu baru di Aceh. Di tengah derap penerapan syariah Islam, angka pergaulan bebas justru semakin memprihatinkan.

Hal ini tentu paradoks dengan penerapan syariah Islam itu sendiri. Islam melarang keras perzinahan namun praktiknya semakin subur. Mengapa pemberlakuan syariah tidak mampu mengeleminasi pergaulan bebas? Apakah Islam gagal mengatasi semua itu?

Hal ini penting untuk dikritisi, pastinya ada yang salah. Mari kembali ke kasus pergaulan bebas siswi madrasah di Bireuen, mengapa ZM dikenakan sanksi pemerkosaan padahal jelas-jelas mereka berpacaran?

Mereka melakukan dengan sadar, tidak hanya sekali namun berulang kali. Kemudian siswi tersebut yang sudah berusia 18 tahun masih dikategorikan sebagai anak di bawah umur? Padahal pada usia yang demikian seseorang sudah cakap, pola pikirnya telah terbentuk sempurna untuk menakar sebab akibat dari sebuah pilihan?

Mengapa analisa dangkal ini dapat dibenarkan? Tentu saja karena terdapat regulasi yang mengatur dan menetapkannya secara yuridis. Misalnya soal kapan seseorang dianggap sebagai anak dan kapan anak dianggap sebagai seorang dewasa. Terdapat fakta yang mencengangkan tentang betapa rumitnya regulasi penetapan usia dewasa bagi anak.

Beberapa undang-undang seperti UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, UU No. 12 Tahun 1995 tentang Permasyarakatan, UU No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, masing-masing memiliki penetapan yang berbeda-beda. Pada umumnya menyatakan bahwa usia anak adalah dibawah 18 tahun; dimana secara eksplisit mereka yang sudah berusia di atas 18 tahun dianggap sudah dewasa.

Hal ini berbeda dengan penetapan menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Bergelijk Wetboek (BW) mengatur bahwa usia dewasa sebagaimana tercantum dalam pasal 330 apabila seseorang telah mencapai usia 21 tahun. Batas usia ini diadopsi pula oleh Kompilasi Hukum Islam (KHI), pada pasal 98 ayat 1, Bab XIV tentang pemeliharaan anak; “Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah dua puluh satu tahun, sepanjang anak tersebut tidak cacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan”.

Padahal hukum Islam sendiri merangkum definisi dewasa dengan sangat simple, mudah dan jelas. Islam menetapkan seseorang dikatakan usia dewasa dan cakap dalam hukum adalah ketika sampai pada usia baligh. Sejak itu dia dikatakan mukallaf, yaitu muslim yang dikenai kewajiban atau perintah dan menjauhi larangan agama. Menjadi dewasa dalam Islam artinya mengemban tanggung jawab dari Allah SWT. Jadi, dewasa dalam Islam ialah ketika mencapai usia baligh yang ditandai dengan haidh bagi wanita dan mimpi basah (ihtilam) bagi laki-laki.

Kembali kepada kasus siswi madrasah di Bireuen dan pasangan tidak halalnya, perhatikan bahwa seharusnya mereka berdua telah dewasa dalam Islam. Mereka melakukan perbuatan zina dengan kesadaran penuh, tidak ada pemaksaan, mereka berpacaran, melakukan berulang kali bagaimana logika hukum positif mendakwa ini pemerkosaan? Lalu si lelaki siap bertanggung jawab? Dengan menikah tentunya. Ditambah dengan pelaksanaan qanun jinayah, si lelaki akan menjalani hukum cambuk sekian kali, apakah kemudian semua selesai? Begitu saja. Wajar jika pergaulan bebas tidak terhenti. Tidak ada efek jera, rasa malu hanya sebatas sanksi sosial saja.

Lain halnya jika penetapan Islam dilaksanakan, yakni tentang had zina berupa jilid 100 kali bagi yang ghairu muhsan (belum menikah) dan rajam bagi yang telah muhsan (sudah menikah). Allah SWT menjamin sanksi ini akan menghentikan angka perzinahan. Allah adalah pencipta manusia dan Allah SWT sangat mengetahui karakteristik manusia. Had Zina ini sepenuhnya hak Allah SWT dan ia telah termaktub dalam kitabullah. Menjalankannya tentu memanen berkah, diampuni dosanya dari azab akhirat dan menjadi pengingat bagi masyarakat. Pelaksanaan hudud akan mencegah orang lain mengulangi hal yang sama, karenanya ia memberi efek jera.

Jika ditilik lebih mendalam, sejatinya generasi yang kini terbawa dalam arus pergaulan bebas adalah korban dari penerapan sekulerisme. Kita harus berani jujur bahwa syariah Islam yang ada di Aceh ini parsial, hanya mengatur secara sebagian mengenai sanksi maisir, khalwat, khamr, lembaga keuangan syariah dan jinayah. Selebihnya aturan kehidupan masyarakat diatur oleh hukum Barat yang diadopsi oleh negara ini. Mirisnya hukum itu adalah hukum peninggalan kolonial Belanda yang kufur, yang dianya adalah adopsi dari hukum Prancis. Singkatnya kita mewarisi hukum penjajah, ini adalah indikasi bahwa kita belum merdeka sepenuhnya.

Mari melihat definisi zina dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Perbuatan zina menurut Pasal 284 KUHP adalah hubungan seksual atau persetubuhan di luar perkawinan yang dilakukan oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan yang kedua-duanya atau salah satunya masih terikat dalam perkawinan dengan orang lain. Jadi jika hubungan terlarang ini dilakukan oleh mereka yang belum menikah, suka sama suka tidak ada delik disana. Pun jika salah satu atau keduanya telah menikah namun tidak ada aduan, maka tidak ada sanksi yang dapat dikenakan.

Inilah akar masalah, yaitu tidak diterapkannya Islam kaffah ditengah-tengah masyarakat. Pada saat yang sama justru negara menerapkan sistem hukum penjajah Belanda. Padahal sistem tidak netral dari ideologi. Sementara Belanda adalah negera kufur yang berideologi kapitalisme sekuler. Tidak ada frasa agama dalam sistem hidup mereka. Ya wajar jika kemudian sistem hukum sekuler mengimpor masalah-masalah yang sama pada masyarakat Muslim yang menerapkan sistem tersebut. Dan pergaulan bebas adalah budaya, kebiasaan dan ciri khas peradaban Barat. Badai inilah yang hari ini menghantam generasi kita.

Perhatikan bagaimana pacaran yang merupakan pintu menuju zina legal dalam masyarakat kita. Orang tua dan masyarakat justru bersikap moderat dan menganggap ini sudah tuntutan zaman, hanya perlu diawasi saja, sebegitu rusaknya logika berpikir kaum Muslimin. Padahal keluarga adalah inti pertahanan iman sementara kontrol masyarakat adalah pilar penegak amar ma`ruf nahi mungkar, disamping peranan negara menyelenggarakan sanksi untuk melindungi warganya. Ini ketentuan Islam.

Namun, negara saat ini menyelenggarakan sistem pendidikan sekuler, maka meski sekolah berlabel madrasah, jangan pernah bermimpi anak-anak kita dididik untuk memiliki syaksiyah Islamiyah (berkepribadian Islam) sebagaimana output yang diperoleh oleh penerapan sistem pendidikan Islam. Alih-alih menerapkan hal tersebut, pemerintah melalui Kementerian Agama justru gencar melakukan moderasi pendidikan Islam. Kemenag secara massif melakukan rekonstruksi terhadap bahan ajar dan kurikulum pendidikan Islam untuk mengejar target Islam moderat sebagaimana arahan Barat.

Maka kita harus mengkritisi kebijakan pendidikan di negeri ini, bagaimana propaganda anti radikalisme dan ekstrimisme lebih dikedepankan untuk memangkas ajaran Islam yang lurus. Ajaran Jihad dipinggirkan, sejarah kaum Muslimin direkonstruksi kembali dengan bingkai inklusif dan liberal yang menyesatkan. Maka tergeruslah identitas anak-anak kaum Muslimin menjadi identitas baru yaitu Muslim yang moderat, Muslim yang terbaratkan dan Muslim yang menolak hukum-hukum syariah. Mereka lebih bangga membincangkan teori Voltaire dan Adam Smith. Tidak tersisa kebanggaan pada Islam melainkan kulitnya saja.

Jadi, sepakat berislam kaffah-kan? Agar pergaulan bebas lenyap dari list pekerjaan rumah kita. Agar generasi kita menjadi generasi yang bangkit dengan kepemimpinan Islam yang akan menyongsong kembali peradaban Islam.

 

[Penulis merupakan pegiat/aktifis Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban]

Artikel ini telah dibaca 202 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Agusni AH : Demokrasi Sukses bersama Penyelenggara Pemilu yang Bebas dan Berkala

22 Desember 2023 - 11:06 WIB

Wakil Ketua KIP Aceh Agusni, AH

Mengenal Aceh dari Tiga Sagoe

15 Oktober 2023 - 12:00 WIB

Bermula dari Makkah, Perlawanan Suku Quraish dan Dilema Menjalankan Sistem Keuangan Syariah di Aceh

13 Mei 2023 - 11:22 WIB

Jaminan Akal-Akalan Penguasa Buruh Makin Resah

21 Februari 2022 - 08:06 WIB

Erupsi Korupsi di Masa Pandemi

9 Desember 2021 - 20:58 WIB

Kegiatan Usaha di Aceh Tumbuh Positif

1 November 2021 - 18:01 WIB

Foto : Kepala BI Aceh, Achris Sarwani.
Trending di Aceh