Wartanusa.id – Langsa | Sebanyak 60 orang mengikuti pelatihan perhitungan Stock Carbon (cadangan karbon), Biodiversity (keanekaragaman hayati) dan kondisi kesehatan hutan (forest integrity) di Aceh.
Ketua Pelaksana Pelatihan, Subhan Bakri mengatakan kegiatan tersebut diprakarsai oleh Michigan State University (MSU) bekerjasama dengan Universitas Syah Kuala (Unsyiah) dan Institut Pertanian (Instiper) Jogya sejak tanggal 7 hingga 19 Februari 2020 di dua lokasi berbeda yakni Meulaboh dan Langsa.
Di daerah hutan Aceh yang mewakili berbagai tipe ekosistem, yaitu Kawasan pesisir pantai barat Aceh, mewakili kawasan ekosistem rawa gambut dan tanah mineral serta kawasan pesisir pantai timur Aceh yang mewakili kawasan ekosistem mangrove.
Pelatihan yang dilaksanakan selama 2 minggu ini mengikut sertakan peserta dari perwakilan stakeholder bidang kehutanan, akademisi dan perwakilan kelompok masyarakat yang terlibat dalam berbagai program Perhutanan Sosial.
“Terdiri dari Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Aceh, KPH Tahura Pocut Meurah Intan, BKSDA Aceh, BPDASHL Kr. Aceh, BBTNGL, perwakilan Universitas Teuku Umar (UTU) dan Program Studi Kehutanan Unsyiah serta perwakilan kelompok masyarakat, dengan jumlah keseluruhan mencapai 60 orang,” ujarnya.
Adapun pelatihan yang dikemas dalam tema : Ecosystem Service Measurement and Monitoring Tools Workshop ini disponsori oleh Asia Pasific Network (APN) berkolaborasi dengan berbagai perguruan tinggi terkemuka, satu di antaranya adalah Program Studi kehutanan Universitas Syiah Kuala.
Ketua Prodi Kehutanan Fakultas Pertanian Unsyiah, Dr. Ashabul Anhar mengatakan pelatihan ini bertujuan memperkenalkan teknik (tools) pengumpulan data pengukuran carbon stock, biodiversity dan kondisi kesehatan hutan (forest integrity) Aceh kepada para pemangku kepentingan dalam upaya menegelola dan mempertahankan kelestarian hutan di Provinsi Aceh.
Lanjutnya, pentingnya kegiatan yang sedang dilaksanakan ini sebagai salah satu upaya untuk mengetahui, menggali dan menghitung secara akurat berbagai potensi yang dimiliki dan tersimpan di dalam kawasan hutan Aceh.
Data hasil perhitungan dengan menggunakan metode yang dikembangkan oleh MSU ini dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah dan dapat digunakan oleh berbagai pihak untuk berbagai kepentingan.
Doktor lulusan salah satu universitas terkemuka di Jerman ini juga menambahkan bahwa pengelolaan hutan Aceh membutuhkan konsistensi, sumber daya manusia dan dukungan pendanaan yang besar serta keseriusan Pemerintah Aceh terutama untuk secara kontinu memantau perkembangan pengelolaan dan perlindungan hutan yang masih tersisa.
Saat ini Aceh memiliki lebih dari 3 juta hektar kawasan hutan. Namun dalam pengelolaannya kita belum dapat menyajikan secara akurat dan aktual berbagai potensi yang kita miliki.
“Salah satu persoalannya adalah keterbatasan SDM dan pendanaan yang tidak memadai untuk melakukan aktivitas tersebut. Titik lemah pengelolaan hutan kita saat ini adalah tidak tersedianya data berbagai potensi baik hasil hutan kayu maupun non kayu serta manfaat hutan lainnya yang up to date dan dapat dipertanggung jawabkan,” pungkasnya.
Selaku penanggung jawab pelatihan, Dr. Ashabul Anhar menambahkan bahwa PUP ini nantinya dapat dijadikan sebagai salah satu bahan pembelajaran bagi para mahasiswa kehutanan untuk meningkatkan kompetensi lulusan dalam upaya memantau jasa ekosistem hutan.
Dr. Jay Samek dari MSU sebagai salah seorang narasumber pada pelatihan ini, didalam penyampaiannya secara daring menyebutkan bahwa tools yang dikembangkan oleh MSU ini tidak hanya berguna untuk mengetahui carbon stock yang dikandung oleh suatu kawasan hutan.
Namun dapat digunakan untuk merancang pengelolaan hutan secara lestari. Misalnya untuk melakukan rehabilitasi, maka dapat menggunakan data ketersediaan anakan yang sesuai dengan kondisi lokal dan kelimpahan jenis yang tersedia secara alami di wilayah atau kawasan hutan setempat, tanpa harus mendatangkan jenis dari luar kawasan.
Hal ini penting diperhatikan untuk menghindari rendahnya keberhasilan rehabilitasi hutan dan lahan akibat salah dalam memilih jenis tanaman.
Dalam pelatihan ini, Program Studi Kehutanan FP Unsyiah juga berkolaborasi dengan Instiper Jogyakarta. Pelatihan ini menghadirkan Siti Maimunah sebagai narasumber penting yang turut serta mengembangkan tools yang dipakai menghitung karbon.
Siti Maimunah merupakan sosok penting dalam bidang lingkungan hidup. Beliau salah satu srikandi yang meraih penghargaan kalpataru dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) serta mendapat penghargaan sebagai sosok hero oleh CNN-Indonesia atas inisiatifnya mengembangkan model hutan pendidikan di Kalimatan Tengah.
Menurut beliau, pelatihan ini dapat berguna bagi KPH untuk mengetahui potensi hutan yang mereka kelola. Target dimasa mendatang, KPH dapat melanjutkan pengumpulan data potensi ini secara mandiri sehingga akan sangat membantu pengelolaan hutan di tingkat tapak, termasuk di dalamnya menyusun rencana kegiatan pengelolaan hutan lainnya.
Dirinya berharap kepada Pemerintah Aceh melalui DLHK dapat melibatkan KPH dan perguruan tinggi dapat melakukan monitoring carbon, biodiversity dan kesehatan hutan secara periodik, sehingga akan tersedia informasi tentang potensi hutan Aceh yang akurat dan dapat dimanfaatkan oleh berbagai pihak.
Salah satu wujud nyata program yang dapat dilaksanakan DLHK adalah dengan membuat Petak Ukur Permanen (PUP) yang mewakili berbagai tipe ekosistem khas yang dimiliki hutan Aceh yang dapat di monitoring secara berkala, sehingga akan tersedia berbagai informasi perkembangan hutan, terangnya.
Terpisah, salah seorang peserta dari pecinta dan pegiat hutan di Langsa, Reza Arizqi mengaku sangat terkesan dan menambah ilmu dengan pelatihan tersebut.
“Saya sangat senang bahwa dengan dilaksanakannya kegiatan ini. Kami para peserta khususnya saya pribadi dapat mengetahui berapa banyak jumlah carbon yang terdapat di hutan serta dapat mengetahui berbagai macam keaneka ragaman hayati yang terdapat di hutan itu sendiri,” tutup Reza.
Discussion about this post